Selasa, 24 Juli 2012

Penjelasan Hadits Kelima Dari Arbain An-Nawawiyyah


Hadits Kelima

عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد " رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم " من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Dari Ummul Mu’minin (ibunya orang-orang yang beriman) Ummu Abdillah ‘Aisyah semoga Allah meridhainya berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang baru di dalam urusan (agama) kami ini apa yang tidak termasuk di dalamnya maka amalannya tertolak. “ (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Imam Muslim, “ Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada dasarnya dalam agama kami maka amalannya tertolak.


Penjelasan hadits :

Yang dibahas di dalam hadits ini :
Hadits yang mulia ini membahas tentang tidak bolehnya seseorang membuat perkara muhdats (perkara yang baru yang diada-adakan dalam agama) serta  batalnya atau tertolaknya amalan tersebut walaupun dilakukan dengan tujuan atau niat yang baik.

Penjelasan secara global :
Hadits ini, hadits yang sangat agung yang digunakan sebagai dalil untuk menjelaskan tentang bathilnya segala kemungkaran dari perkara baru yang diada-adakan di dalam agama kita. Dan hadits ini menjadi timbangan amalan dzahir seseorang, jika sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka amalannya benar dan sebaliknya jika tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka amalannya fasid (rusak). Sebagaimana hadits yang pertama (sesungguhnya amalan itu tergantung  pada niatnya) menjadi timbangan amalan bathin seseorang, diterima atau tidaknya amalan seseorang tergatung dari niatnya.
Pada hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menjelaskan barang siapa yang membuat perkara yang baru dalam agama kita yang tidak  pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, walaupun akal, perasaan menganggapnya perkara yang baik bahkan dengan tujuan yang baik maka amalannya tetap tertolak, karena tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Agama ini sudah sempurna tidak perlu inovasi dengan penambahan atau pengurangan.
Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا
 “ Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu. “ (Qs. Al Maidah : 3).
Adapun dalam urusan dunia tidak termasuk dalam hadits ini.

Faidah yang dapat diambil dari hadits ini :
  1. Haramnya perkara baru yang diada-adakan di dalam agama Allah walaupun bersumber dari niat yang baik.
Wajib bagi seseorang untuk beramal sesuai dengan apa yang Allah subhaanahu wata’aala syari’atkan, tidaklah amalan sesuai dengan syari’at kecuali harus sesuai syari’at pada enam perkara : sebabnya, jenisnya, ukurannya, tatacaranya (sifatnya), waktunya dan tempatnya.
1).Sesuai dengan sebabnya, misalnya seseorang shalat setiap kali mau masuk rumah, dia jadikan hal ini sebagai sunnah. Maka amalannya tertolak, karena dia menjadikan apa yang bukan menjadi sebab Allah syari’atkan pada ibadah tertentu. Walaupun asal ibadah shalatnya disyari’atkan.
2).Sesuai dengan jenisnya, misalnya seseorang berqurban pada Idul Adha dengan menyembelih kuda misalnya atau ayam, maka amalan seperti ini tertolak, karena menyelisihi syari’at dari sisi jenisnya. Telah ditetapkan bahwa jenis hewan qurban yang disembelih pada hari raya Idhul Adha adalah bahimatul an’am yaitu terdiri dari unta, sapi, kambing dan domba.
3).Sesuai dengan ukurannya, misalnya seseorang sengaja berwudhu mencuci anggota wudhunya sebanyak 4 kali - 4 kali maka yang seperti ini menyelisihi ukuran banyak dari jumlah ukuran mencuci anggota wudhu (3 kali) yang telah ditetapkan oleh syari’at. Maka tambahan amalannya (cucian keempatnya) pun tertolak tidak diterima.
4).Sesuai dengan tatacaranya (sifatnya), misalnya seseorang memulai shalat dengan mengucapkan salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri, lalu disusul dengan gerakan sujud, kemudian ruku’ dan ditutup dengan takbiratul ikhram. Maka yang seperti ini menyelisihi tatacara shalat yang dijelaskan oleh syari’at.
5).Sesuai dengan waktu, misalnya seseorang sengaja shalat sebelum masuk waktunya atau menyembelih hewan qurban sebelum dilaksanakan shalat Idul Adha. Hal ini menyelisihi waktu yang telah ditetapkan oleh syari’at untuk shalat lima waktu pada waktunya dan menyembelih hewan qurban setelah selesai shalat Idul Adha. Maka amalannya tidak diterima di sisi Allah.
6).Sesuai dengan tempat pelaksanaannya, misalnya seseorang i’tikaf bukan di masjid tapi di kuburan atau di rumah maka amalannya tertolak, karena Allah memerintahkan kita i’tikaf di masjid.

  1. Kesempurnaan Islam yang tidak membutuhkan inovasi dengan penambahan atau pengurangan.

  1. Dari hadits ini dan hadits pertama (seseungguhnya amalan seseorang tergantung niatnya) manusia terkelompok menjadi empat kelompok :
Pertama : Orang yang beramal ikhlas mencari keridhaan Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Mereka inilah orang yang beruntung bahagia di dunia dan akhirat.
Kedua : Orang yang beramal yang tidak ada keikhlasan pada dirinya dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Inilah kelompok paling celaka di dunia dan di akhirat.
Ketiga : Orang yang beramal ikhlas mencari keridhaan Allah tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Rassulullah shallallahu ‘alahi wasallam maka amalannya tertolak berdasarkan hadits di atas.
Keempat : Orang yang beramal sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi tidak ikhlas dalam amalannya mencari ridha Allah, maka amalannya tidak diterima berdasarkan hadits pertama.
ditulis oleh Abu Ibrahim Abdullah Al-Jakarty


Sumber bacaan
Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
Al-Qaulul Mufiid fi Adilatit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Whushaby.
dll



Tidak ada komentar:

Posting Komentar